Suara benturan antara roda
pesawat dan lintasan pendaratan terdengar dan membuat pesawat yang kutumpangi sedikit
goncang. Aku terjaga dari tidurku. Kulihat diluar jendela terpampang pahatan
berwarna merah maroon bertuliskan “Selamat
Datang di Bandar Udara Internasional Lombok”. Perjalanan Hamburg-Lombok
menggunakan Garuda Airlines menempuh waktu sekitar delapan jam. Tepat pukul
18.50 WITA, di pulau yang dijuluki Pulau Seribu Masjid ini, seorang wanita tampak
sedang menunggu.
Aku berhasil menyelinap keluar
ruangan kedatangan di bandara itu tanpa diketahui oleh wanita berkerudung biru
muda yang tampak serasi dengan baju putih dan rok batiknya. Aku bersandar di
dinding yang berada sekitar 5 meter di belakang wanita itu, tersenyum
memerhatikan wajah manisnya ketika sedang menunggu seseorang apalagi
kepanikannya ketika orang yang keluar ruang kedatangan sudah habis. Tidak tega,
akhirnya kudekati ia dan sekitar beberapa senti dibelakangnya aku berkata, “Permisi,
apa ada tumpangan ke Kota Praya?”. Tak ingin terlihat terkejut, wanita itu
menoleh ke arahku sambil tersenyum. “Oh, ada, Pak, limousine-nya sudah disiapkan untuk menjemput kedatangan Bapak”,
jawabnya menirukan suara merdu wanita resepsionis hotel berbintang.
“Haha, kalau yang jemputnya cantik
gini, pake angkot tua, ga jadi masalah”, ujarku.
“Ih, apa sih. Ngapain juga pake
sumput-sumputan segala”, jawabnya tersipu malu.
Aku kecup ubun-ubunnya yang
ditutupi kerudung biru muda. Dia mengambil tanganku dan menempelkannya di
keningnya yang membuat kacamatanya sedikit bergeser.
“Yuk ah, anak-anak di rumah udah
kangen banget sama Ayahnya”, ucapnya sambil menggandeng lenganku dan berjalan
ke parkiran bandara.
Sebuah hatchback putih produksi Indonesia tahun 2017 membawa kami melintasi
indahnya suasana malam di sepanjang jalan menuju rumah kecil kami di bagian
selatan Kota Praya. Gemerlap cahaya Masjid Agung Praya menampakkan
keangkuhannya sebagai sebuah masjid besar. Keindahan tanah air sendiri memang
tidak bisa tergantikan.
Selama kurang lebih dua minggu, aku
menjadi pembicara di acara konferensi internasional BIODEVICES 2020 yang
diadakan di Illemenau, Jerman. Mengikuti kesuksesan Indonesia di bidang otomotif
dan pendidikan di tahun 2015, kesuksesan luar biasa Indonesia di bidang riset instrumentasi
kesehatan dua tahun setelahnya langsung mendapat pengakuan dunia internasional.
Semakin banyak peniliti Indonesia yang melanjutkan karir menelitinya di
Indonesia, menggunakan sumber daya alam sendiri, dan mengeluarkan jurnal-jurnal
berkualitas internasional. Banyak pula peneliti dan engineer dari Indonesia yang diundang ke luar negeri sebagai
pembicara di acara konferensi dan seminar bertaraf internasional.
Obrolan kami berdua terhenti sejenak
oleh suara telepon genggam milik istriku. “Dari adik-adik di Samarinda, Yah”, ia
berbisik. “Assalamu’alaykum”, istriku berkata lembut. Karena aku sedang
menyetir, maka istriku mengaktifkan loudspeaker
telepon genggamnya. “Kak Rinoooo....”,
suara ramai menyeruak dari speaker. Yang aku tangkap di sana ada suara Rafi,
Otong, dan Indah. “Apa kabar semuanya?”, aku bertanya. Lalu kudengar
sayup-sayup mereka saling berebut untuk berbicara. “Ih, Otong, aku dulu”, sahut
Indah. “Nggak, aku dulu”, paksa Rafi. Akhirnya perebutan dimenangi oleh Indah
yang paling tua di antara mereka. “Kak Rino kapan ke Samarinda lagi? Ayo kita
latihan musik lagi di Danau Jempang”, ucap Indah dengan semangat. “Kak, robot
kupas buah mangganya sedikit lagi berhasil, yeeaah”, teriak Rafi juga dengan
penuh semangat. “Kak, aku udah hapal surat Ar-Rahman lho”, ucap Otong yang
senang menghafal quran. Cukup kesulitan
juga aku menjawab pertanyaan mereka saking semangatnya mereka bertanya. Baru 4
bulan memang sejak kepindahanku dengan istriku dari Samarinda ke Lombok. Dua
tahun kurang kebersamaan kami dengan adik-adik di sana cukup banyak membuat
kenangan tak terlupa bagi keluargaku dan adik-adik di sana. Proyek sanggar
remaja daerah Loakulu sudah berjalan cukup stabil dengan adanya Sutomo yang
bersedia dengan semangat jadi pengurus sanggar di sana. Kemudian, setelah
berkonsultasi dengan Yudi, sahabatku dari waktu kuliah yang mempunyai
perusahaan travelling Internasional,
kami memutuskan untuk mencoba hidup dan bersosialisasi di daerah Praya Lombok
Tengah.
Tidak terasa, 5 menit setelah mengobrol
dengan adik-adik, kami sampai di depan rumah sederhana berwarna putih dengan halaman
kecil di depannya. Dua malaikat kecil sudah menunggu menunjukkan binar sepasang
bola mata yang menyejukkan. Bocah kecil berlari ke arahku, sementara kakaknya
dengan kerudung merah mudanya, berjalan tersenyum. Aku menangkap sang bocah
yang melompat ke dadaku, dan beberapa saat setelahnya, punggung telapak tanganku
telah berada di kening sang kakak. Senyum manis seorang bidadari, ibu dari dua
malaikat kecil di dekatku ini, melengkapi indahnya pertemuan syahdu malam itu.
Praya, Lombok, 2020