Tuesday, May 1

Suara benturan antara roda pesawat dan lintasan pendaratan terdengar dan membuat pesawat yang kutumpangi sedikit goncang. Aku terjaga dari tidurku. Kulihat diluar jendela terpampang pahatan berwarna merah maroon bertuliskan “Selamat Datang di Bandar Udara Internasional Lombok”. Perjalanan Hamburg-Lombok menggunakan Garuda Airlines menempuh waktu sekitar delapan jam. Tepat pukul 18.50 WITA, di pulau yang dijuluki Pulau Seribu Masjid ini, seorang wanita tampak sedang menunggu.
Aku berhasil menyelinap keluar ruangan kedatangan di bandara itu tanpa diketahui oleh wanita berkerudung biru muda yang tampak serasi dengan baju putih dan rok batiknya. Aku bersandar di dinding yang berada sekitar 5 meter di belakang wanita itu, tersenyum memerhatikan wajah manisnya ketika sedang menunggu seseorang apalagi kepanikannya ketika orang yang keluar ruang kedatangan sudah habis. Tidak tega, akhirnya kudekati ia dan sekitar beberapa senti dibelakangnya aku berkata, “Permisi, apa ada tumpangan ke Kota Praya?”. Tak ingin terlihat terkejut, wanita itu menoleh ke arahku sambil tersenyum. “Oh, ada, Pak, limousine-nya sudah disiapkan untuk menjemput kedatangan Bapak”, jawabnya menirukan suara merdu wanita resepsionis hotel berbintang.
“Haha, kalau yang jemputnya cantik gini, pake angkot tua, ga jadi masalah”, ujarku.
“Ih, apa sih. Ngapain juga pake sumput-sumputan segala”, jawabnya tersipu malu.
Aku kecup ubun-ubunnya yang ditutupi kerudung biru muda. Dia mengambil tanganku dan menempelkannya di keningnya yang membuat kacamatanya sedikit bergeser.
“Yuk ah, anak-anak di rumah udah kangen banget sama Ayahnya”, ucapnya sambil menggandeng lenganku dan berjalan ke parkiran bandara.
Sebuah hatchback putih produksi Indonesia tahun 2017 membawa kami melintasi indahnya suasana malam di sepanjang jalan menuju rumah kecil kami di bagian selatan Kota Praya. Gemerlap cahaya Masjid Agung Praya menampakkan keangkuhannya sebagai sebuah masjid besar. Keindahan tanah air sendiri memang tidak bisa tergantikan.
Selama kurang lebih dua minggu, aku menjadi pembicara di acara konferensi internasional BIODEVICES 2020 yang diadakan di Illemenau, Jerman. Mengikuti kesuksesan Indonesia di bidang otomotif dan pendidikan di tahun 2015, kesuksesan luar biasa Indonesia di bidang riset instrumentasi kesehatan dua tahun setelahnya langsung mendapat pengakuan dunia internasional. Semakin banyak peniliti Indonesia yang melanjutkan karir menelitinya di Indonesia, menggunakan sumber daya alam sendiri, dan mengeluarkan jurnal-jurnal berkualitas internasional. Banyak pula peneliti dan engineer dari Indonesia yang diundang ke luar negeri sebagai pembicara di acara konferensi dan seminar bertaraf internasional.
Obrolan kami berdua terhenti sejenak oleh suara telepon genggam milik istriku. “Dari adik-adik di Samarinda, Yah”, ia berbisik. “Assalamu’alaykum”, istriku berkata lembut. Karena aku sedang menyetir, maka istriku mengaktifkan loudspeaker telepon genggamnya.  “Kak Rinoooo....”, suara ramai menyeruak dari speaker. Yang aku tangkap di sana ada suara Rafi, Otong, dan Indah. “Apa kabar semuanya?”, aku bertanya. Lalu kudengar sayup-sayup mereka saling berebut untuk berbicara. “Ih, Otong, aku dulu”, sahut Indah. “Nggak, aku dulu”, paksa Rafi. Akhirnya perebutan dimenangi oleh Indah yang paling tua di antara mereka. “Kak Rino kapan ke Samarinda lagi? Ayo kita latihan musik lagi di Danau Jempang”, ucap Indah dengan semangat. “Kak, robot kupas buah mangganya sedikit lagi berhasil, yeeaah”, teriak Rafi juga dengan penuh semangat. “Kak, aku udah hapal surat Ar-Rahman lho”, ucap Otong yang senang menghafal quran.  Cukup kesulitan juga aku menjawab pertanyaan mereka saking semangatnya mereka bertanya. Baru 4 bulan memang sejak kepindahanku dengan istriku dari Samarinda ke Lombok. Dua tahun kurang kebersamaan kami dengan adik-adik di sana cukup banyak membuat kenangan tak terlupa bagi keluargaku dan adik-adik di sana. Proyek sanggar remaja daerah Loakulu sudah berjalan cukup stabil dengan adanya Sutomo yang bersedia dengan semangat jadi pengurus sanggar di sana. Kemudian, setelah berkonsultasi dengan Yudi, sahabatku dari waktu kuliah yang mempunyai perusahaan travelling Internasional, kami memutuskan untuk mencoba hidup dan bersosialisasi di daerah Praya Lombok Tengah.
Tidak terasa, 5 menit setelah mengobrol dengan adik-adik, kami sampai di depan rumah sederhana berwarna putih dengan halaman kecil di depannya. Dua malaikat kecil sudah menunggu menunjukkan binar sepasang bola mata yang menyejukkan. Bocah kecil berlari ke arahku, sementara kakaknya dengan kerudung merah mudanya, berjalan tersenyum. Aku menangkap sang bocah yang melompat ke dadaku, dan beberapa saat setelahnya, punggung telapak tanganku telah berada di kening sang kakak. Senyum manis seorang bidadari, ibu dari dua malaikat kecil di dekatku ini, melengkapi indahnya pertemuan syahdu malam itu.
Praya, Lombok, 2020